Amrl

Breaking

Rabu, 05 September 2018

C Yang Pertama


C ~ Yang Pertama

Oleh: Amrl



            Ditahun 2016 aku telah menduduki bangku kuliah. Kini statusku berubah menjadi seorang mahasiswi di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di  Lampung. Namun semenjak aku dikukuhkan menjadi mahasiswi di UIN ini aku merasa kurang puas, karena melihat teman-teman SMA diterima diberbagai PTN favorit, saat itu aku memutuskan untuk break 1 tahun untuk memfokuskan diri mempersiapkan tes di PTN serta sekaligus Sekolah Kedinasan yang memang menjadi sasaran utamaku. Singkat cerita semua yang menjadi motivasiku untuk melangkah jauh pun pupus, lagi-lagi Allah mengujiku dengan berbagai macam cara. Tepat dipengumuman SBMPTN ayahku masuk rumah sakit secara tiba-tiba, dengan perasaan yang berserakan ingin ku kabarkan bahwa aku lulus di Universitas Gajah Mada dengan jurusan arsitektur. Disaat perjalanan menuju rumah sakit hatiku bercampur aduk rasa, selain kabar kelulusanku dan kabar ayah yang tiba-tiba jatuh sakit.

            “Ibu, bagaimana keadaan ayah”? Sambil mencium tangan ibu Muslimah. Aku yang melihat mata ibu membengkak karena menangis. “Sabar bu, pasti Ayah segera pulih. Dokter sedang berusaha untuk menyembuhkannya.” Tambahku dengan melihat Ayah dikejauhan yang dibatasi kaca tebal.

Dikagetkan dengan kak Farid yang menggeret tanganku. “Apa-apaan si kak, main geret aja kayak kambing mau diangonkan.” Ucapku penuh kesal dengan merapikan lengan baju. “Udah, maaf. Eh gimana hasil SBMnya? Mana hasilnya?” ucapnya sambil menagih.

“Liat sendiri lah kak, lagi males aku!”jawabku dengan nada sadis. “Heh, ya mana hpnya? Kakak ga ada paket juga nih”. Kak Farid cengar-cengir. “Ilih….sahutku belum selesai mengucapkan kata-kata langsung diserbu Kak Farid.

“Banyak komen dik-dik.” Disamberlah ponsel bercasing doraemon yang berada digenggamanku. Farid yang segera memainkan ponsel, dengan penuh keseriusan saat melihat pengumuman. Segeralah Farid sujud sukur, karena adiknya Zhafira Mirza Ullya telah lulus SBM dengan prodi yang dulu ia impikan. Farid bersyukur serta bahagia, karna upaya adiknya kini membuahkan hasil. Walaupun di pengumuman sekolah kedinasan berbalaskan maaf, maaf dan maaf.

*** 
            Berita kelulusan ini belum sempat didengar oleh Ayah, namun ibu telah diberitahu Kak Farid. Hanya kado ini yang dapat ku persembahkan untuknya. Namun nasip berkata lain, akupun harus merelakan jeri payahku ini seperti menerbangkan merpati, merelakan ia pergi sejauh-jauhnya. Dokter yang telah berusaha keras untuk menyembuhkan Ayah,  lagi-lagi saat manusia berencana hanya Allah SWT lah yang menentukan. Ibu jatuh pingsan saat Dokter berkata Ayah telah berpulang kerahmatullah, Ayah telah pergi menemui Allah SWT. Berita duka itu seperti angin puting beliung, dengan cepat tersebar kekerabat dekat maupun jauh. Kala itu aku bersama Yoga teman seperjuangan mencari tiket untuk berangkat ke Jogja minggu depan serta mempersiapkan berkas sebagai data untuk daftar ulang.
“Dik, dimana? Cepet pulang!!! Singkat Kak Farid. “Secepatnya pulang” . Tambah Farid. Suara telfon terputus, dahiku mengeriyit. “tut..tuttt….tutt…”

“Siapa Za? Tanya Yoga. Dengan melihat jam yang terpasang ditangannya sembari merogoh ponsel yang berada di saku depan, karena berdering. “Kakak, tiba-tiba nyuruh pulang. Entah kenapa?” Sahut Mirza. Yoga meraih ponsel segeralah ia buka pesan BM. Pesan dari Bang Farid, Kakak Mirza. Ia terkejut dengan isi pesan yang menegaskan untuk segera pulang, bahwa ayah Mirza meninggal. Saat itu Mirza dan Yoga sedang menunggu loket untuk membeli tiket keberangkatan ke Jogja minggu depan. Tanpa basa basi Yoga yang sebelumnya dalam keadaan tenang, mendadak menarik tangan Mirza dengan gesit, “Ayo Za! Sambil berdiri.



“Apa Ga? Tiket belum kebeli! ini loket terakhir Ga, udah ga ada lagi besok tiketnya. Kok buru-buru ngajak…” Belum sempatku menjelaskan, segeralah disangkal Yoga. “Udah Za, ini lebih penting dari pada itu”. Ujur Yoga dengan tegas. Terjadi perdebatan hebat Yoga dan Mirza, Yoga yang menginginkan akan segera pulang. Sedangkan Mirza bersikeras tetap nunggu tiket. Barangkali Bang Farid tidak memberikan alasan untuk segara pulang. Yoga menarik tas Mirza yang terletak di kursi. “Cepat, ga bisa pulangkan tanpa ini?” Sembari mengangkat tas. Salah satu cara Yoga untuk membujuk Mirza untuk cepat pulang.


***


Berhentilah Yoga diperempatan sebelum gang rumah Mirza, berkatalah Yoga “Za…sabar ya. Aku ga tega liat tangisanmu di tempat umum”. Di genggamlah tangan Mirza, dengan kerepotan mengusap derai-derai mata air. “Maksud mu apa Ga”? Aku ga faham, laki kok  cengeng, abis diputus pacar ya”? ledek Mirza.


“eh…eh tunggu dulu, kok diarah menuju rumahku rame Ga? Ga, disana ada apa? Banyaknya pertanyaan Mirza tak mampu Yoga jawab. “Ayuk Ga kesana. Aku suruh turun disini?


Aku mau turun Ga. “Ayahmu meniggal Za, Bang Farid ngubungin kamu cepet pulang karena itu”.  Yoga menghembuskan nafas berat, sedang Mirza hanya terdiam kaku.


Tatapan Mirza kaget, sontak memukul Yoga. “Apa-apaan kamu ga, asal ngomong”timpal Mirza.


“Lihat itu za bendera warna apa yang berlambai depan rumahmu, istifar za..istifar.”


Jatuhlah satu persatu butiran asin di jilbab pink yang ia kenakan membentuk lingkaran. Air mata terus berderai, dengan sekejab suasana dimobil yang dikendarai Mirza dan Yoga berubah menjadi sepi, karena kesedihan itu. Belum sempat Yoga memakirkan mobil, Mirza segera membuka pintu mobil dan berlari menuju rumah. Dilihatlah jenazah diruang tamu, terbaring kaku. Berteriaklah diikuti buih-buih derasnya hujan di mata cantik itu.


“Ayah…! Ayah bangun, ini hadiah untuk Ayah. Mirza lulus yah, lulus seleksi! Ucapku dengan mengoyahkan badan Ayah yang terbungkus kain kafan. Tak lama kemudian proses pemakanan segera dilangsungkan karena dirasa tidak baik berlama-lama mengulur-ulur pemakaman. Saat jenazah diberengkatkan, sontak Mirza jatuh pingsan tak sadarkan diri yang kemudian dibopong oleh orang-orang yang berada disekitarnya.


***


 


Tok…tok..“Za… ini bang Farid, boleh masuk”? Tanya Farid sambil mengetuk pintu kamar. Tanpa menunggu izin Mirza Bang Farid langsung membuka pintu. Didekatilah Mirza yang sedang tertelengkup dalam tangis.


“Zaa, makan dulu. Abang bawa makanan kesukaanmu. Ga baik nangis kayak gitu terus.” Jelas Bang Farid.


“Bang, apa arti dari semua ini? Terlalu cepet bang. Baru kemarin aku cerita, Ayah nyemangatin, Ayah nasehatin” belum sempat Mirza menuahkan pertanyaan segera disangkal oleh Bang Farid.


Dipeganglah tangan Mirza, “Aku Farid Fallah Ilham bin Suhendra, Zhafira Mirza Ullya binti Suhendra adalah adikku. Inget masih ada Abang Za, semua merasakan kehilanagan ga cuman kamu, terlebih Ibu. Ikhlaskan. Semua sudah ada yang ngatur, ga perlu risau. Sudah ada jatah masing-masing kehidupan didunia Za. Cukup kirim do’a terbaik semoga disuatu saat nanti kita bakal bertemu dan bahkan dapat dikumpulkan di Jannah-Nya Allah. Jangan nangis mulu lah, bantu hilangin kesedihan Ibu, kalau bukan kita siapa lagi?” Peluh-peluh air mata tak mampu tertahan hingga terjatuh didepan Mirza. Lalu dipeluklah Bang Farid oleh Mirza.


“Jangan lupa za, selalu sisipkan do`a terbaik untuk semua, sabar ya dik. Allah pun membebani hamba pasti sesuai kemampuan dan takarannya. Yakinlah bahwa Allah itu selalu membantu.”isak Faris  


“Bang, semangatin aku ya”. Tumpah ruah tangis mirza dan Farid. Malam itu terbilang suasana bercampur baur.


***


Satu tahun berlalu begitu cepat, tak ku sangka bertepatan dengan hari lahirku. Mata ini menetes dengan sendirinya, tanpa ku sadari Yoga melihat yang segera menghampiriku.


“Assalamu`alaikumr Zaa…. Boleh duduk? Ucap Yoga dengan penuh kehati-hatian. Ku tarik pipi ini dengan secara paksa, ku angkat kepala ku yang sedari tadi merunduk. “Waalikum salam, Oh… Yoga, boleh duduk aja ga”. Segera ku berikan jarak  duduk ku denganya.


“kuliah lancar? Gimana 1 semester kemarin?” Tanya Yoga.


“Allhamdullillah ga, kok ga masuk kelas? Udah ga ada MK lagi? Tanya balik Mirza.


“iya udah ga ada Za. Jangan sedih Zaa, aku pernah berada diposisi kamu. Terpenting doakan yang terbaik, kepengen kan ketemu di syurga-Nya Allah. Kejar ridho Allah setingi-tingginya. Semangat Mirza. Nih, buat kamu. Semoga Allah menambah nikmat kamu dan umurnya tambah berkah Za”. Tangannya menyodorkan bingkisan berbentuk kotak terbalut kertas berwarna unggu bunga-bunga.


“Hah? Inget toh ga? hehe,  Aku yang tertawa malu. Makasih ga, atas semangatnya. Kamu juga ya semangat dalam meniti pribadai dan karirnya.” Tersenyum sambil menolehkan pandangan.


…BERSAMBUNG…

1 komentar: