C ~ Yang Pertama
Oleh: Amrl
Ditahun 2016
aku telah menduduki bangku kuliah. Kini statusku berubah menjadi seorang
mahasiswi di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Lampung. Namun semenjak aku dikukuhkan
menjadi mahasiswi di UIN ini aku merasa kurang puas, karena melihat teman-teman
SMA diterima diberbagai PTN favorit, saat itu aku memutuskan untuk break 1 tahun
untuk memfokuskan diri mempersiapkan tes di PTN serta sekaligus Sekolah
Kedinasan yang memang menjadi sasaran utamaku. Singkat cerita semua yang
menjadi motivasiku untuk melangkah jauh pun pupus, lagi-lagi Allah mengujiku
dengan berbagai macam cara. Tepat dipengumuman SBMPTN ayahku masuk rumah sakit
secara tiba-tiba, dengan perasaan yang berserakan ingin ku kabarkan bahwa aku
lulus di Universitas Gajah Mada dengan jurusan arsitektur. Disaat perjalanan
menuju rumah sakit hatiku bercampur aduk rasa, selain kabar kelulusanku dan
kabar ayah yang tiba-tiba jatuh sakit.
“Ibu,
bagaimana keadaan ayah”? Sambil mencium tangan ibu Muslimah. Aku yang melihat
mata ibu membengkak karena menangis. “Sabar bu, pasti Ayah segera pulih. Dokter
sedang berusaha untuk menyembuhkannya.” Tambahku dengan melihat Ayah dikejauhan
yang dibatasi kaca tebal.
Dikagetkan dengan kak Farid yang menggeret
tanganku. “Apa-apaan si kak, main geret aja kayak kambing mau diangonkan.” Ucapku penuh kesal dengan
merapikan lengan baju. “Udah, maaf. Eh gimana hasil SBMnya? Mana hasilnya?”
ucapnya sambil menagih.
“Liat sendiri lah kak, lagi males
aku!”jawabku dengan nada sadis. “Heh, ya mana hpnya? Kakak ga ada paket juga
nih”. Kak Farid cengar-cengir. “Ilih….sahutku belum selesai mengucapkan
kata-kata langsung diserbu Kak Farid.
“Banyak komen dik-dik.” Disamberlah ponsel
bercasing doraemon yang berada digenggamanku. Farid yang segera memainkan
ponsel, dengan penuh keseriusan saat melihat pengumuman. Segeralah Farid sujud
sukur, karena adiknya Zhafira Mirza Ullya telah lulus SBM dengan prodi yang
dulu ia impikan. Farid bersyukur serta bahagia, karna upaya adiknya kini
membuahkan hasil. Walaupun di pengumuman sekolah kedinasan berbalaskan maaf,
maaf dan maaf.
***
Berita kelulusan ini belum sempat didengar
oleh Ayah, namun ibu telah diberitahu Kak Farid. Hanya kado ini yang dapat ku
persembahkan untuknya. Namun nasip berkata lain, akupun harus merelakan jeri
payahku ini seperti menerbangkan merpati, merelakan ia pergi sejauh-jauhnya. Dokter
yang telah berusaha keras untuk menyembuhkan Ayah, lagi-lagi saat manusia berencana hanya Allah
SWT lah yang menentukan. Ibu jatuh pingsan saat Dokter berkata Ayah telah
berpulang kerahmatullah, Ayah telah pergi menemui Allah SWT. Berita duka itu
seperti angin puting beliung, dengan cepat tersebar kekerabat dekat maupun
jauh. Kala itu aku bersama Yoga teman seperjuangan mencari tiket untuk
berangkat ke Jogja minggu depan serta mempersiapkan berkas sebagai data untuk
daftar ulang.
“Dik, dimana?
Cepet pulang!!! Singkat Kak Farid. “Secepatnya pulang” . Tambah Farid. Suara telfon
terputus, dahiku mengeriyit. “tut..tuttt….tutt…”
“Siapa Za? Tanya
Yoga. Dengan melihat jam yang terpasang ditangannya sembari merogoh ponsel yang
berada di saku depan, karena berdering. “Kakak, tiba-tiba nyuruh pulang. Entah
kenapa?” Sahut Mirza. Yoga meraih ponsel segeralah ia buka pesan BM. Pesan dari
Bang Farid, Kakak Mirza. Ia terkejut dengan isi pesan yang menegaskan untuk
segera pulang, bahwa ayah Mirza meninggal. Saat itu Mirza dan Yoga sedang
menunggu loket untuk membeli tiket keberangkatan ke Jogja minggu depan. Tanpa basa
basi Yoga yang sebelumnya dalam keadaan tenang, mendadak menarik tangan Mirza
dengan gesit, “Ayo Za! Sambil berdiri.
“Apa
Ga? Tiket belum kebeli! ini loket terakhir Ga, udah ga ada lagi besok tiketnya.
Kok buru-buru ngajak…” Belum sempatku menjelaskan, segeralah disangkal Yoga.
“Udah Za, ini lebih penting dari pada itu”. Ujur Yoga dengan tegas. Terjadi
perdebatan hebat Yoga dan Mirza, Yoga yang menginginkan akan segera pulang.
Sedangkan Mirza bersikeras tetap nunggu tiket. Barangkali Bang Farid tidak memberikan
alasan untuk segara pulang. Yoga menarik tas Mirza yang terletak di kursi.
“Cepat, ga bisa pulangkan tanpa ini?” Sembari mengangkat tas. Salah satu cara
Yoga untuk membujuk Mirza untuk cepat pulang.
***
Berhentilah
Yoga diperempatan sebelum gang rumah Mirza, berkatalah Yoga “Za…sabar ya. Aku
ga tega liat tangisanmu di tempat umum”. Di genggamlah tangan Mirza, dengan
kerepotan mengusap derai-derai mata air. “Maksud mu apa Ga”? Aku ga faham, laki
kok cengeng, abis diputus pacar ya”? ledek
Mirza.
“eh…eh
tunggu dulu, kok diarah menuju rumahku rame Ga? Ga, disana ada apa? Banyaknya
pertanyaan Mirza tak mampu Yoga jawab. “Ayuk Ga kesana. Aku suruh turun disini?
Aku
mau turun Ga. “Ayahmu meniggal Za, Bang Farid ngubungin kamu cepet pulang
karena itu”. Yoga menghembuskan nafas
berat, sedang Mirza hanya terdiam kaku.
Tatapan
Mirza kaget, sontak memukul Yoga. “Apa-apaan kamu ga, asal ngomong”timpal
Mirza.
“Lihat
itu za bendera warna apa yang berlambai depan rumahmu, istifar za..istifar.”
Jatuhlah
satu persatu butiran asin di jilbab pink yang ia kenakan membentuk lingkaran.
Air mata terus berderai, dengan sekejab suasana dimobil yang dikendarai Mirza
dan Yoga berubah menjadi sepi, karena kesedihan itu. Belum sempat Yoga memakirkan
mobil, Mirza segera membuka pintu mobil dan berlari menuju rumah. Dilihatlah
jenazah diruang tamu, terbaring kaku. Berteriaklah diikuti buih-buih derasnya
hujan di mata cantik itu.
“Ayah…!
Ayah bangun, ini hadiah untuk Ayah. Mirza lulus yah, lulus seleksi! Ucapku
dengan mengoyahkan badan Ayah yang terbungkus kain kafan. Tak lama kemudian proses
pemakanan segera dilangsungkan karena dirasa tidak baik berlama-lama
mengulur-ulur pemakaman. Saat jenazah diberengkatkan, sontak Mirza jatuh
pingsan tak sadarkan diri yang kemudian dibopong oleh orang-orang yang berada
disekitarnya.
***
Tok…tok..“Za… ini bang Farid, boleh masuk”? Tanya Farid sambil
mengetuk pintu kamar. Tanpa menunggu izin Mirza Bang Farid langsung membuka
pintu. Didekatilah Mirza yang sedang tertelengkup dalam tangis.
“Zaa,
makan dulu. Abang bawa makanan kesukaanmu. Ga baik nangis kayak gitu terus.”
Jelas Bang Farid.
“Bang,
apa arti dari semua ini? Terlalu cepet bang. Baru kemarin aku cerita, Ayah
nyemangatin, Ayah nasehatin” belum sempat Mirza menuahkan pertanyaan segera
disangkal oleh Bang Farid.
Dipeganglah
tangan Mirza, “Aku Farid Fallah Ilham bin Suhendra, Zhafira Mirza Ullya binti
Suhendra adalah adikku. Inget masih ada Abang Za, semua merasakan kehilanagan
ga cuman kamu, terlebih Ibu. Ikhlaskan. Semua sudah ada yang ngatur, ga perlu
risau. Sudah ada jatah masing-masing kehidupan didunia Za. Cukup kirim
do’a terbaik semoga disuatu saat nanti kita bakal bertemu dan bahkan dapat dikumpulkan
di Jannah-Nya Allah. Jangan nangis mulu lah, bantu hilangin kesedihan Ibu,
kalau bukan kita siapa lagi?” Peluh-peluh air mata tak mampu tertahan hingga
terjatuh didepan Mirza. Lalu dipeluklah Bang Farid oleh Mirza.
“Jangan
lupa za, selalu sisipkan do`a terbaik untuk semua, sabar ya dik. Allah pun
membebani hamba pasti sesuai kemampuan dan takarannya. Yakinlah bahwa Allah itu
selalu membantu.”isak Faris
“Bang,
semangatin aku ya”. Tumpah ruah tangis mirza dan Farid. Malam itu terbilang
suasana bercampur baur.
***
Satu
tahun berlalu begitu cepat, tak ku sangka bertepatan dengan hari lahirku. Mata
ini menetes dengan sendirinya, tanpa ku sadari Yoga melihat yang segera
menghampiriku.
“Assalamu`alaikumr
Zaa…. Boleh duduk? Ucap Yoga dengan penuh kehati-hatian. Ku tarik pipi ini
dengan secara paksa, ku angkat kepala ku yang sedari tadi merunduk. “Waalikum
salam, Oh… Yoga, boleh duduk aja ga”. Segera ku berikan jarak duduk ku denganya.
“kuliah
lancar? Gimana 1 semester kemarin?” Tanya Yoga.
“Allhamdullillah
ga, kok ga masuk kelas? Udah ga ada MK lagi? Tanya balik Mirza.
“iya
udah ga ada Za. Jangan sedih Zaa, aku pernah berada diposisi kamu. Terpenting
doakan yang terbaik, kepengen kan ketemu di syurga-Nya Allah. Kejar ridho Allah
setingi-tingginya. Semangat Mirza. Nih, buat kamu. Semoga Allah menambah nikmat
kamu dan umurnya tambah berkah Za”. Tangannya menyodorkan bingkisan berbentuk
kotak terbalut kertas berwarna unggu bunga-bunga.
“Hah?
Inget toh ga? hehe, Aku yang
tertawa malu. Makasih ga, atas semangatnya. Kamu juga ya semangat dalam meniti pribadai
dan karirnya.” Tersenyum sambil menolehkan pandangan.
…BERSAMBUNG…
Bikin buku aja kak, bgus2 loh ceritanya☺☺
BalasHapus