Bagaimana mensolidkan kinerja ikhwan dan akhwat ,
karena selama ini sering kali antara ikhwan dan akhwat bermaksud menjaga
interaksi, namun terkadang ada hal hal yang seharusnya dikomunikasikan namun
tidak di lakukan sehingga seringkali muncul masalah atau kesalahpahaman ikhwan
dan akhwat ?
Masalah klasik yang hampir tidak pernah
usai hingga saat ini, bagaimana agar komunikasi ikhwan dan akhwat berjalan baik
dengan tetap menjaga hijab. Saya masih berpikir kenapa masalah ini bisa muncul.
Akan tetapi ketika saya mencoba merenung, kejadian ini bisa terjadi akibat
idealisme yang masih tinggi dari para kader dakwah yang betul betul ingin
menjaga hatinya dari segala fitnah yang bisa merusak keberkahan dakwah. Tentu
ini adalah hal positif bagi dakwah kampus yang kita cintai ini.
Tapi perlu kita evaluasi terkait apakah
batasan yang terlalu rigit ini membuat komunikasi terhambat dan berakibat
pada menurunnya produktifitas dakwah. Jika memang tidak berakibat negatif,
tentu itu merupakan kabar baik, dan mungkin Anda bisa memberikan solusi yang
baik untuk mengatasi kendala ini. Saya akan mencoba memaparkan pandangan saya
terkait problematika ini dengan latar belakang saya di kampus “ikhwan”
ITB.
Ketika membaca buku men from mars and women from venus, saya mulai sedikit memahami
karakter ikhwan dan akhwat dari segi psikologi. Saya mencoba melalukan beberapa
pengamatan kepada teman-teman saya di ITB terkait fenomena ini. Rapat demi
rapat, kepanitiaan demi kepantiaan hingga sekarang dalam badan pengurus harian
GAMAIS, saya baru memahami bagaimana seorang pria berpikir tentang perempuan
dan perempuan berpikir tentang pria.
Untuk para pria, perlu Anda pahami bahwa
perempuan relatif lebih peka dan sensitif ketimbang pria. Perempuan lebih
tertata dalam menyusun agenda, maka sering kita lihat perempuan lebih rapih
dalam segala hal. Karena mereka melakukan sesuatu dengan perencanaan, baik itu
jangka pendek atau panjang. Perempuan yang bekerja biasanya lebih rajin
ketimbang pria, ini mengapa kita mulai melihat para perempuan yang telah
menjadi profesional atau pejabat,
karena mereka rajin dalam menjalankan tugas. Satu hal yang perlu diingat oleh
para pria adalah perempuan tidak suka di khianati dan perempuan itu butuh
kepastian.
Untuk para perempuan, perlu saya
sampaikan bahwa pria memang cenderung egois dan self-oriented. Seorang pria lebih bisa menghabiskan waktunya
sendirian ketimbang perempuan. Dan seorang pria ketika sudah masuk keduniannya akan sulit untuk diganggu. Sebutlah seorang
pria yang sedang badmood dan ia
memilih untuk sendiri untuk mengembalikan mood
nya, maka ia akan sangat terganggu sekali jika ada yang menggangu, bahkan
sebuah sms bisa membuat mood nya
lebih parah. Sehingga seringkali ia mengabaikan panggilan yang ada. Saya
menyebutnya, pria mempunyai gua sendiri yang dimana hanya ia yang memahaminya,
dan seorang perempuan sepertinya harus menunggu pria ini keluar gua nya baru
bisa memanggil pria ini.
Pria relatif lebih ingin diperhatikan dan
dipahami, karena sedikit ”sentuhan” saja bisa membuat seorang pria berpikir
terbalik 180o. Oleh karena itu, seorang perempuan
kiranya perlu memahani mengenai kebutuhan dasar pria ini untuk membentuk pola
komunikasi yang baik.
Pada kasus nyata, bisa kita ambil contoh
dua buah kisah yang saya akan beri pandangan point of view yang harus diambil. Kisah pertama, sekelompok ikhwan
dan akhwat yang berada dalam sebuah kepanitiaan. Dimana mereka biasa
menjalankan rapat rutin untuk membahas segala sesuatu. Pada suatu ketika, ketua
panitia dihadapi pada sebuah kondisi dimana butuh keputusan cepat, padahal saat
itu waktu sudah menunjukan pukul 19.00, dan keputusan harus sudah ada malam itu
juga. Sehingga ketua panitia ( ikhwan tentunya ), memutuskan untuk mengumpulkan
seluruh panitia ikhwan untuk membahas masalah tersebut, dan terselesaikanlah
masalah itu. Esok siangnya seluruh panitia rapat kembali ( ikhwan dan akhwat ),
dan ketua panitia menceritakan kejadian malam hari itu, setelah mendengar
cerita itu, pihak panitia akhwat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan
kebijakan, akhwat merasa hanya sebagai pelaksana keputusan dan berbagai keluhan
lain.
*pada kasus ini akhwat merasa di khianati
dalam arti tidak diberi kepercayaan untuk ikut berpikir bersama, atau merasa
dilangkahi dalam mengambil keputusan.
*pria ketika sudah mengerjakan sesuatu
relatif keasikan sendiri sehingga
lupa bahwa ada pihak akhwat yang perlu dilibatkan
Kisah kedua, seorang ketua muslimah di
sebuah lembaga dakwah mencoba meng-sms seorang ketua LDK di waktu pagi hari (
sekitar waktu tahajud ), akhwat ini mengetahui bahwa sangat tidak ahsan untuk meng-sms seorang ikhwan pada
waktu tersebut, akan tetapi, karena sebuah masalah yang perlu dibahas segera,
dengan segala pertimbangan dan kebulatan hati, ia memutuskan untuk meng-sms
ketua LDK ini dan meminta diadakan rapat mendadak pagi itu untuk membahasa hal
yang penting. Akan tetapi, dikarenakan ketua LDK ini sedang dilanda masalah
pribadi yang membuat dirinya tidak ingin diganggu untuk sementara waktu, maka
ia tidak membalas sms ketua muslimahnya. Mungkin dikarenakan, berbagai miscall yang dilontarkan oleh akhwat
ini, ketua LDK ini akhirnya memutuskan untuk membalas sms akhwat ini dengan
asalan saja dan seakan menggantungkan keputusan. Hingga akhirnya akhwat ini
mengancam sesuatu sehingga ketua LDK itu memutuskan untuk mengadakan rapat di
pagi harinya. Setelah menjalani rapat, akhwat ini meminta berbicara terhadap
ketua LDK, dan mengungkapkan kekecewaannya kepada ketua LDK ini dan mengatakan
bahwa ketidakpastian yang ketua LDK berikan membuat ia tidak tenang.
*perempuan tidak suka ketidakpastian yang
berlarut, butuh ketegasan sikap. Saya merekomendasi kepada para pria untuk
sesegera mungkin membalas sms akhwat dengan baik untuk menghindari konflik
seperti diatas.
*pria yang sedang dilanda masalah tidak
ingin diganggu, bahkan ketika kadar masalahnya cukup tinggi, ia tidak ingin
diganggu oleh amanah dakwah, ia lebih memilih sendiri dan tidak bertemu dengan
orang orang untuk sementara waktu
Dengan memahami karakter masing-masing
ini, saya berharap Anda dapat mencoba mulai mengaplikasikan hal untuk memahami
kekurangan masing-masing. Bermula dari pemahaman ini, selanjutnya saya akan
memaparkan bagaimana cara lain untuk membangun komunikasi yang baik dengan
tetap menjaga batasan yang ada.
Hijab saat rapat
Beberapa kampus yang pernah saya kunjungi
relatif punya cara tersendiri dalam
mengaplikasikan hijab dalam sebuah rapat, ada yang membatasa pria
dan perempuan dengan batas permanen seperti tembok, ada yang beda ruangan, ada
yang dalam bentuk papan setinggi dua meter, atau ada yang cukup dengan jarak 2
meter antara ikhwan dan akhwat. Semua tergantung kebutuhan dan budaya di masing
masing kampus. Bagaimana pun bentuk hijab
nya , ada beberapa hal yang perlu dipenuhi, yakni :
1. Jelasnya perkataan setiap anggota rapat
2. Tidak membuat ikhwan dan akhwat terkesan rapat sendiri
3. Pemimpin rapat bisa melihat semua peserta rapat ( ikhwan dan akhwat )
4. Kondisi peserta harus tetap kondusif, jangan sampai karena terpisah oleh
tembok, atau papan besar membuat peserta rapat tidur-tiduran karena tidak
tampak oleh lawan jenis
5. Ada medua penghubung informasi yang bisa dilihat oleh semua peserta,
seperti papan tulis, agar tidak terjadi assymetric
information
6. Tidak menimbulkan kesan angker atau
eksklusif terhadap orang selain kader yang melihat proses rapat
Proses komunikasi yang efesien
Komunikasi yang dilakukan antara ikhwan
dan akhwat perlu diefesienkan sedemikan rupa, agar tidak terjadi fitnah yang
mungkin bisa terbentuk. Saya akan mengambil contoh sms seorang ikhwan ke
akhwat, dalam dua versi dengan topik yang sama, yakni mencocokan waktu untuk
rapat.
Versi 1
Ikhwan :
assalamu’alaikum ukhti, bagaimana kabarnya ? hasil UAS sudah ada ? J
Akhwat :
wa’alaikum salam akhie, alhamdulillah baik, berkat do’a akhie juga, hehehe, UAS
belum nih, uhh, deg deg an nunggu nilainya, tetep mohon doanya yah
!!
Ikhwan :
iya insya Allah didoakan, oh ya ukhti, kira kira kapa yah bisa rapat untuk
bahas tentang acara ?
Akhwat :
hmhmhm... kapan yah ? akhie bisanya kapan, kalo aku mungkin besok siang dan
sore bisa
Ikhwan :
okay, besok sore aja dech, ba’da ashar di koridor timur masjid, jarkomin akhwat
yang lain yah
Akhwat :
siap komandan, semoga Allah selalu melindungi antum
Ikhwan :
sip sip, makasih yah ukhti, GANBATTE !! wassalamu’alaikum
Akhwat :
wa’alaikum salam
Versi 2
Ikhwan :
assalamualaikum, ukh, besok sore bisa rapat acara ditempat biasa ? untuk bahas
acara
Akhwat :
afwan, kebetulan ada quis, gimana kalo besok siang aja?
Ikhwan : insya Allah boleh,
kita rapat besok siang di koridor timur masjid, tolong jarkom akhwat,
syukron, wassalamu’alaikum
Dari dua contoh pesan singkat ini kita
bisa melihat bagaimana pola komunikasi yang efektif dan tetap menjaga batasan syar’i. Pada versi 1 kita bisa melihat
sebuah percapakan singkat via sms antara ikhwan dan akhwat yang bisa dikatakan
sedikit “lebai” ( baca “ berlebihan ), sedangkan pada versi 2 adalah percakapan
antara ikhwan dan akhwat yang to the point,
tanpa basa basi. Sebenarnya bagaimana kita membuat batasan tergantung bagaimana
kita membiasakannya di lembaga dakwah kita saja. Perlu adanya leader will untuk membangun budaya komunikasi yang efesien
dan “secukupnya”.
Dalam hal percakapan langsung, seorang
ikhwan dan akhwat sangat diharapkan untuk menjauhi percapakan berdua saja, walau
itu di tempat umum. Saya menyarankan agar salah satu ikhwan atau akhwat meminta
muhrimnya (sesama jenis kelamin)
untuk menemaninya. Dengan itu diharapkan pembicaraan menjadi terjaga dan
meminimalkan kesempatan untuk khilaf. Dengan melakukan pembicaraan yang
secukupnya ini sebetulnya dapat lebih membuat pekerjaan menjadi lebih cepat dan
efektif. Karena setiap pembicaraan yang dilakukan tidak ada yang sia sia, semua
membahas tentang agenda dakwah yang dilakukan.
Selain itu perlu kiranya kita mengurangi
waktu ikhwan dengan akhwat untuk bekerja bersama pada waktu dan tempat yang
sama. Sebutlah untuk pekerjaan mengepak sembako untuk baksos, saya
merekomendasikan agar kegiatan dilakukan terpisah. Jangan ikhwan dan akhwat
sama sama melakukan sebuah aktifitas, contohnya lagi ikhwan dan akhwat bersama
sama menimbang gula, ikhwan memasuki gula ke plastik dan akhwat menimbang dan
mengikat plastik. Saya merekomendasikan agar hal seperti ini tidak terjadi,
karena proses ini memungkinkan adanya kesempatan
untuk khilaf. Kita tidak akan pernah mengetahui isi dari pikiran dan hati
seseorang. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang tepat untuk menjaga kader
dari hal hal yang bisa merusak keberkahan dakwah. Untuk kasus kerja bersama
baksos, bisa saja menjadi ikhwan mengerjakan di bagian pengepakkan beras dan
gula, akhwat mengerjakan pengepakkan susu dan minyak.
Regulasi tidak tertulis
Adanya regulasi tidak tertulis, atau
mungkin tertulis jika cocok dengan budaya di LDK masing-masing, akan tetapi
saya merekomendasikan kepada Anda agar regulasi terkait hubungan ikhwan dan
akhwat bersifat tidak tertulis saja. Regulasi ini adalah ketentuan yang
“memaksa” para kader untuk mengikutinya, dan bentuk sangksi yang diberikan
berupa sangksi moral saja. bentuk regulasi ini seperti etika ketika rapat yang
bisa dimaktubkan dalam mekanisme rapat, di GAMAIS kami membuat beberapa
ketentuan rapat, yakni terkait posisi dan waktu rapat yang diperbolehkan,
seperti hijab dengan jarak 2-3 meter antara ikhwan dan akhwat, rapat antara
ikhwan dan akhwat tidak boleh dilakukan setelah maghrib, dan sebagainya.
Regulasi lain terkait, pembatasan hubungan ikhwan akhwat melalui pertemuan
tatap muka, sms, maupun telepon
diatas pukul 21.00 hingga subuh, kecuali dalam keadaan darurat, dan lain-lain.
Bentuk dan penerapan regulasi ini perlu
disesuaikan dengan kondisi kader di Lembaga dakwah. Saya memang sedikit moderat
terkait hal ini, sehubungan dengan jumlah kader baru yang semakin membludak¸sehingga butuh waktu untuk
pemahaman, akan tetapi bagi kader inti akan ada ketentuan khusus.
Pemanfaatan media terbuka bersama
Media bersama yang dimaksud seperti mailing list (milist), papan komunikasi
(pakom), yahoo!conference, dan
lainnya. Media ini bersifat terbuka dan bisa digunakan dan di akses bersama,
sehingga pembicaraan yang dilakukan akan seputar pada inti permasalahan.
Sebutlah pembicaraan pemimpin ikhwan dan akhwat seputar IP Kader, dengan media
terbuka bersama ini akan membuat mereka akan membahasa hanya tentang IP kader
dan solusinya. Akan tetapi jika pembicaraan tanpa media pembatasnya, maka bisa
jadi pembicaraan antara dua pemimpin ini menjadi curhat masalah IP mereka masing-masing.
Penyesuaian dengan iklim Lembaga Dakwah
Dari semua kebijakan dan tata etika
komunikasi ikhwan dan akhwat ini perlu adanya wiseness dari pihak pemimpin untuk menyesuaikan dengan kondisi masa
kampus dan kader di Lembaga Dakwah. Jangan sampai komunikasi yang dilakukan
antara ikhwan dan akhwat justru membuat objek dakwah menjadi takut untuk
bergabung bersama kita, dan justru me-demarketisasi lembaga dakwah kita.
Kebijakan yang diterapkan di GAMAIS memang moderat, dan tidak terlalu rigit terkait hal ini. Pertimbangan yang
dilakukan mengingat GAMAIS sedang membangun pendekatan dan kepercayaan secara
masif kepada objek dakwah. Hal ini memang sedikit menuntut kami menjadi moderat
akan beberapa hal yang bisa di tolerir.
Seperti rapat yang tanpa hijab fisik,
lalu ikhwan dan akhwat jika bertemu tidak selamanya harus saling membelakangi,
cukup tidak bertatapan, dan lain lain. Memang ini menjadi tantangan tersendiri
untuk memastikan kemoderatan ini tidak berdampak pada rusaknya keberkahan
dakwah, akan tetapi kami berhasil membangun
image bahwa GAMAIS tidak angker dan eksklusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar